Akhirnya
menulis lagi setelah "berabad-abad" vakum menulis, agak lebay karena
menurutku termasuk waktu yang sangat lama menunda untuk menulis dengan segudang
pemikiran dan ide-ide yang berkecamuk di kepala, hehe.. saya ragu dalam memilih
ide yang ditulis, ada banyak hal, namun hati ini tergerak untuk menulis
mengenai Dirgahayu RI ke-70 dari sisi olahraga yang saya cintai: badminton.
Kalo ditanya apa saya bisa bermain badminton alias
bulutangkis? Jawabannya bisa tapi jauh banget dari kata jago/mahir. Saya lebih
bisa bermain volley, hehe.. masih teringat ketika dulu masih bentrok dengan
jadwal les bahasa Inggris, saya terpaksa ambil ekskul badminton, di sela-sela
waktu luang, saya membeli bola volley dan belajar dengan harapan begitu masuk
bisa langsung bermain sebagai tim inti. Sepertinya cerita tentang volley harus
dipotong dulu, hehe.
Bagaimana saya bisa mencintai dunia bulutangkis? My super dad
is the answer :)
Papa saya orang pertama yang mengenalkanku pada dunia ini, saya
inget banget bahkan di tengah-tengah sisa kerusuhan Mei 1998, kami masih sempat
menonton bulutangkis (saat itu Mia Audina yang bermain untuk turnamen yang saya
juga lupa, mungkinkah Thomas dan Uber Cup? ingatan sudah agak blur :p) di dalam
kamar Hotel Borobudur, hehe.
Sampai detik ini, beliau masih bermain bulutangkis bersama
rekan-rekan setiap hari Rabu dan Sabtu.
Berapa besar kecintaanku pada dunia bulutangkis? sangaaaat
besar.. Mungkin kalau saya tidak berkarier sebagai seorang karyawan, saya akan
menjadi atlet, hehe.. Begitu besarnya hingga saya bersyukur siaran tv kabel di
rumah ada Star Sports yang hampir konsisten menayangkan turnamen super series
di seluruh dunia. Namun sayang, per Juni 2015, tv kabelku tidak menyiarkan Star
Sports dikarenakan masih belum terdapat kesepakatan kerja sama (bisa jadi
karena bulutangkis semakin naik pamor? Hm.. bisa jadi :p)
Pemain favorit? Jawabannya adalah banyak dan tergantung :)
Saya cukup sering mengikuti jejak pemain yang saya rasa cukup
menarik untuk diikuti. Kalo kalian pernah denger Lee Yong Dae (pebultang asal
KorSel, harusnya sih uda ga asing karena ke-charming-annya dan mukanya yang
sedap dipandang mata, hehe); saya uda cukup tahu mengenai dia, bukan karena
ketampanannya, tapi karena staminanya yang patut diacungi jempol. Saya sudah
mulai jatuh cinta padanya sejak dia belum terkenal seperti sekarang, jatuh
cinta karena dia sanggup bermain di ganda putra dan ganda campuran sekaligus,
serta konsisten dalam merebut juara turnamen (we'll skip this one).
Kalau pemain Tiongkok, semua orang pasti tidak asing dengan
Super Dan aka Lin Dan, sang pemain yang hingga detik ini sudah mengoleksi 5
gelar juara dunia dan juara dari seluruh turnamen sudah pernah dia kantongi
(emang "gila" dia ini). Kepiawaiannya membuatku kadang ga habis pikir
itu ide serangan muncul dari mana. Menariknya, he's not my favourite athlete.
Lee Chong Wei, pemain bulutangkis dari era Taufik Hidayat,
Peter Gade (2 ini sudah pensiun), dan Lin Dan (masih aktif namun sudah ketutup
Chen Long) yang masih konsisten bermain hingga sekarang. Sungguh miris melihat
dia dihukum tidak boleh bertanding karena tersangkut kasus doping pada BWF
2014. Menurutku, seorang pemain kelas dunia tidak mungkin melakukan itu, dan
benar saja, obat yang dilarang BWF tersebut tidak sengaja dimakan ketika LCW
menjalani perawatan untuk cideranya.
Pemain Indonesia? Jujur untuk sektor putri, menurutku masih
banyak sekali PE-ER yang harus diperbaiki dan dikerjakan oleh mereka. Selalu gemessss
melihat mereka bermain seperti orang berbeban berat dan kurang eager (kadang
terlihat lesu menggapai bola). Beda sekali dengan tim Jepang yang menurutku
ulet dan tekun luar biasa.
Salah satu fakta yang menarik bagaimana tim Jepang pria
berhasil membawa pulang piala Thomas 2014 dengan skor 3-2 setelah melawan tim
Malaysia. Masih berbekas dalam ingatan bagaimana pertandingan tersebut sangat
berkelas karena saya bisa ngerasain bagaimana ulet dan pantang menyerahnya
seluruh tim Jepang. Usut punya usut, ternyata pemain Jepang tidak menjadikan
atlet sebagai profesi utama karena belum menjanjikan, jadi paginya mereka kerja
kantoran, sore ke malam baru mereka berlatih mempersiapkan turnamen. Harapannya
setelah menang, olahraga bultang makin dikenal dan dianggap sebagai olahraga
yang berkelas.
Dari sektor putri menarik karena sudah mulai ada nama baru,
seperti Carolina Marin (Spanyol) dan Saina Nehwal (India). Jujur saya kurang
suka sama teriakan Marin yang kadang terdengar “noisy” banget, namun harus saya akui semangat juangnya sungguh amat tinggi, dan pukulannya berisi (ada tenaga),
jadi saat diterima musuh juga bukan sebuah pukulan yang mudah dikembalikan.
Permainan yang selalu saya tunggu, dari dulu hingga sekarang
adalah Lin Dan vs Lee Chong Wei. Hampir seluruh penggemar tahu betapa
pertandingan kelas dunia ini sangat sangat layak untuk ditunggu. Permainan kelas
dunia dengan teknik dan mental kelas dunia, jujur saya sangat berharap agar LCW
bisa mendapatkan emas pertamanya untuk kejuaraan dunia dan olimpiade karena itu
dua-duanya medali yang belum dia menangkan. Secara pribadi saya lebih mendukung
LCW karena menurutku dia pemain berkelas dunia yang punya karakter dan attitude
yang baik (Lin Dan di samping gaya permainannya yang oke, terkadang terkesan
arogan, IMHO lho ya).
Sebuah mimpi yang menjadi kenyataan ketika saya bisa
menyaksikan langsung secara live BCA Indonesia Open 2015 yang diadakan sejak 2
s.d. 7 Juni 2015. Sudah dari kapan saya memiliki cita-cita yang akhirnya
setelah 18 tahun kesampaian juga, selalu merinding melihat dari tv gimana “gila”
dan “sinting”nya supporter Indonesia, bahkan komentator luar negeri juga
menyebut mereka supporter bulutangkis nomor 1 di dunia. Bahkan pemain asing
betah untuk kembali karena merasa seperti dihargai dan disambut seperti di
rumah sendiri. Saya merinding dan kagum merasakan langsung teriakan gila para
supporter yang mendukung habis-habisan para pemain. Salute for Indonesian supporters!
![]() |
Berikut foto-foto BIO 2015 (ada yang diblur demi menjaga privacy :p) |
![]() |
Suasana di luar lapangan! :) |
![]() |
Supporter Indonesia emang paling "gila"! |
Langkah kaki ketika membuka tirai hitam membuatku deg-degan namun gembira (sulit sekali diungkapkan dengan kata-kata), apalagi ketika melihat ada banyak lapangan berjejer dengan pemain yang handal berdiri di depanku. It was so amazing, unforgettable experience. I call it moments!
Nonton secara live membuatku ketagihan hingga saya menonton
kembali babak semifinal which is a good choice karena ternyata hanya 1 wakil
yang lolos ke final dan itupun mereka kalah.
Ketika saya melihat kembali saya menyadari betapa seharusnya
(ataupun mungkin) pemain bersyukur dengan semua ini, supporter yang superb
abiss. Saya mengingat kembali bagaimana dulu Indonesia sangat berjaya dan
berdiri sebagai salah satu negara yang ditakuti oleh negara lain, bahkan Cina
sekalipun. Ada nama besar seperti Alan Budikusuma, Susi Susanti, Ricky Subagia,
Rexy Mainaky, Taufik Hidayat, Hendrawan, dan lain-lain.
Ada beberapa hal yang saya sedihkan sebagai penikmat
bulutangkis, antara lain:
1. Harus diakui reputasi bulutangkis Indonesia yang diakui negara lain tidak lepas dari para pemain WNI keturunan Tiong Hua yang
memperjuangkan agar bendera merah putih berkibar. Saya juga WNI keturunan Tiong
Hua, saat ini bukan sedang berniat pamer atau sombong, tapi mencoba menyadarkan
betapa besar jasa-jasa mereka terhadap dunia bulutangkis Indonesia (sebut saja
Lim Sui King, Rudy Hartono, Alan Budikusuma, Susi Susanti, Hendrawan, dan
lain-lain) yang tak jarang kurang mendapatkan apresiasi dari negara sendiri.
Masih teringat
dalam benakku apa yang menjadi keinginan Hendrawan setelah membawa tim Thomas Cup
menjadi juara dengan skor 3-2. Kewarganegaraan
Indonesia! Miris bukan, tapi itu yang terjadi, birokrasi yang tidak jelas
yang kadang ga masuk akal membuat dia tidak berhasil mendapatkannya, segera
setelah keinginannya diliput media, Presiden Megawati menelepon instansi
terkait untuk segera membereskannya. Memalukan memang, tapi kita bicara
mengenai fakta. Bahkan Hendrawan sempat ditawari Tiongkok untuk bergabung
membela tim tersebut, namun ditolaknya dengan halus karena dia merasa dia
adalah penduduk Indonesia.
2. Pemain asing yang sekarang mulai terdengar namanya ada andil
Indonesia di dalamnya. Pemain India (Saina Nehwal) pernah dilatih mantan pemain
Indonesia, bahkan Mainaky bersaudara melatih tim Jepang dan Malaysia, selain
Rexy yang masih tetap berjuang bagi Indonesia, sungguh miris, kita patut
berbangga ketika tahu ada andil Indonesia di setiap kemajuan bulutangkis negara
lain. Yang paling tidak habis pikir ketika saya tahu salah satu pelatih Lin Dan
adalah WNI keturunan Tiong Hua yang kembali ke Tiongkok karena tidak dikabulkan
permohonan WNI-nya sehingga setelah kerusuhan 1998, mereka dipanggil kembali ke
Tiongkok, dan wush…. Jadilah seorang Super Dan atas hasil didikan mantan
penduduk yang sesungguhnya juga mencintai Indonesia. Jujur ketika ditanyakan
kepada mereka yang memilih berkarier di luar negeri, mereka sungguh sangat
ingin mengabdi bagi bangsa, namun secara realistis mereka menjawab bahwa mereka
tidak hanya berbakti bagi bangsa tapi juga harus menghidupi keluarga mereka. Dalam
kondisi ini, sungguh ironi, tapi saya juga tidak bisa menyalahkan kerealistisan
mereka, serba sulit! Seandainya saja ada apresiasi yang sungguh bagi mereka,
seandainya oh seandainya!
3. Sulit sekali menyaksikan turnamen bulutangkis di tv lokal,
bersyukurlah yang mempunyai Star Sport di rumahnya yang bisa menonton turnamen
super series mereka, mungkin disebabkan biaya yang terlampau besa? (kurang
paham). Hal yang membuat kecewa sebelum saya punya tv kabel, lagi seru-seru
nonton dengan tv lokal, ehh diputus dan diganti dengan program lain karena
sudah waktunya. Saya sudah sering membaca komentar-komentar berisi keluhan
mengenai hal ini di berbagai forum. Entah siapa yang harus disalahkan, saya
yang terlalu maksa atau emang acara-acara lain lebih mendatangkan keuntungan dibanding
penyiaran turnamen bulutangkis.
Baiklah sepertinya sudah cukup keluhannya, selain hal di atas
saya belajar untuk tidak berputus asa mengenai regenerasi bulutangkis Indonesia
yang masih sangat kurang dan butuh waktu yang panjang, walau saya melihat masih
ada harapan untuk bangkit (sepertinya sebentar lagi) untuk pemain putra dengan
nama-nama seperti Jonatan Christie, Firman Abdul Kholik, dan lain-lain.
Tulisan saya akan ditutup dengan kisah mengenai BWF 2015 yang
baru saja selesai diselenggarakan 10 s.d. 16 Agustus 2015. Penyelenggaraan yang
terlampau sederhana (bahkan masih ada beberapa gangguan teknis) jika
dibandingkan dengan BIO 2015 bahkan tetap membuat para supporter tidak berhenti mengirimkan
dukungannya dengan menonton langsung di Istora Senayan. Agak gemes melihat
pertandingan Owi-Butet yang sebenarnya sudah mempunyai peluang di set ke-2
karena mencapai matchpoint terlebih dahulu namun gagal dan akhirnya lagi-lagi berakhir dengan
kegagalan. Well, sepertinya Istora Senayan memang masih “angker” untuk
ditaklukan pasangan ini..
Bersyukur ada 1 pasangan ganda putra (Hendra-Ahsan) yang
menyelamatkan muka bangsa Indonesia, dengan permainan yang luar biasa bagus,
konsisten, bisa dilihat dan dirasakan mereka berkembang sangat pesat (bahkan
lawan-lawan juga kehabisan akal menjegal mereka). Pasangan “meledak-kalem” ini
berubah menjadi sangat fokus dan tidak terlalu ekspresif, namun tetap konsisten
dalam bermain sehingga memberikan suatu tontonan menarik yang membuatku sangat
merindukan gaya permainan Indonesia yang penuh ambisi seperti mereka. Semoga permainan
mereka tetap konsisten hingga Olimpiade RIO 2016!
Suatu kebanggaan tersendiri ketika mendengar lagu Indonesia
Raya berkumandang di Istora Senayan, negara kita semua, Indonesia. Saya merinding
dan berdecak kagum melihat supporter ikut menyanyikan lagu Indonesia Raya dan
memberikan hormat dari awal hingga lagu selesai dinyanyikan.
Tidak peduli dari suku manapun, agama apapun, atau warna
kulit apapun, kami semua tetaplah satu bangsa, bangsa Indonesia!
Terima kasih Hendra-Ahsan telah memberikan kado yang sangat
manis untuk ulang tahun ke-70 bagi bangsa Indonesia! Biarlah dengan segala
persoalan yang tetap ada, saya belajar untuk tetap percaya bahwa Indonesia
sedang dalam proses bangkit untuk kembali mengukir sejarah sebagai salah satu
negara bulutangkis yang dihormati dan disegani oleh dunia. Sama seperti
supporter Indonesia yang begitu setia untuk terus datang menonton dan tidak
pernah berhenti mengelu-elukan “In-do-ne-sia, prok prok prok prok prok!”, kiranya
kita juga boleh terus setia percaya kepada bangsa ini.. Amin..
Akhir kata, selamat hari kemerdekaan ke-70, Indonesiaku!
Hen-dra-Ah-san.. Prok.. prok.. prok.. prok.. prok..
In-do-ne-sia.. Prok.. prok.. prok.. prok.. prok..
In-do-ne-sia.. Prok.. prok.. prok.. prok.. prok..
0 komentar:
Post a Comment